Seusia yang sebentar lagi menjelang 25 tahun, itu adalah usia yang pasti akan ditanya kapan nikah. Di ruang kerja, saya adalah anak ingusan yang selalu dijahili perihal pernikahan. Kepala ruangan sampai bilang, "Aduh, saya saja 24 masa' kamu 27". Sewaktu saya bilang bahwa saya berniat akan menikah diusia 27.
Pertanyaan itu juga pernah ditanya oleh kepalanya kepala ruangan ketika kali pertama saya masuk di kampus sebagai pegawai. Saya bilang, "Belum lah, Pak. Ntah belum tahu". Dia bilang, "Nikah lah Nda, saya saja nyesal menikahnya lama, di usia begini anak masih SD", katanya tertawa.
Lalu seseorang di ruangan kami menimpal, dia bilang bahwa saya bukan tipe orang yang masih memikirkan tentang pernikahan, saya lebih mementingkan karir.
Dalam hati, saya membenarkan. Saya masih membayangkan ke depan, bahwa saya dapat melanjutkan keinginan saya berkeliling Kalimantan, Jawa, Indonesia, dan ke benua Australia dan Amerika. Kalau ke Arab sih sama orang tua dan suami, hahahahaha.Bisa jadi peneliti, menjadi relawan atau apalah yang berhubungan dengan pendidikan, kemanusiaan, dan alam. Saya yang kala itu baru jejak semester II di pascasarjana merasa masih sangat sayang dengan usia saya, yang jika di usia itu pula saya harus menikah. Saya membagi waktu untuk keluarga dan juga pendidikan saya, serta keinginan-keinginan saya lainnya. Apalagi saya yang masih suka Ngopi dengan teman-teman ketika sore dan malam.
Waktu itu saya tidak mempunyai relationship yang terikat. Ada pun saya masih tahap suka-suka, lepas, lalu merajut lagi dengan yang lain, begitu lagi.,
Lagi pula, Mak memberi nasihat sewaktu saya menyiapkan diri di pasca. Beliau bilang jangan mengenal cinta dulu, dua tahun itu tidak lama.
Ke sini, setelah saya mempunyai keterikatan, pertanyaan-pertanyaan, dan mengingat usia yang sudah di 25, saya merenung sejenak. Apa saya sudah boleh menyiapkan itu sekarang? Lalu bagaimana dengan bayangan saya dengan berkelilingnya saya di berbagai kegiatan.
Rasanya saya menyayangkan diri jika terlalu cepat mengambil keputusan itu tapi saya juga mengkawatirkan diri bahwa usia dan kesempatan mungkin sudah saya sampai waktunya.
Dalam keadaan itu, saya mengingatkan bahwa jika saya memang serius untuk berada di tahap itu, karenanya saya mesti menyeriuskan karir saya setidaknya pasca saya selesai tahun ini, setahun kemudian mungkin sudah di tahap itu. Saya memotong satu tahun dari dua tahun yang saya rencakan. Jikalau itu memang sudah waktunya.
Setidaknya saya mempunyai tabungan sendiri untuk itu. Tidak perlu mewah, pastinya saya punya tempat tinggal ngontrak atau nyicil perumahan.
Pertanyaan itu juga pernah ditanya oleh kepalanya kepala ruangan ketika kali pertama saya masuk di kampus sebagai pegawai. Saya bilang, "Belum lah, Pak. Ntah belum tahu". Dia bilang, "Nikah lah Nda, saya saja nyesal menikahnya lama, di usia begini anak masih SD", katanya tertawa.
Lalu seseorang di ruangan kami menimpal, dia bilang bahwa saya bukan tipe orang yang masih memikirkan tentang pernikahan, saya lebih mementingkan karir.
Dalam hati, saya membenarkan. Saya masih membayangkan ke depan, bahwa saya dapat melanjutkan keinginan saya berkeliling Kalimantan, Jawa, Indonesia, dan ke benua Australia dan Amerika. Kalau ke Arab sih sama orang tua dan suami, hahahahaha.Bisa jadi peneliti, menjadi relawan atau apalah yang berhubungan dengan pendidikan, kemanusiaan, dan alam. Saya yang kala itu baru jejak semester II di pascasarjana merasa masih sangat sayang dengan usia saya, yang jika di usia itu pula saya harus menikah. Saya membagi waktu untuk keluarga dan juga pendidikan saya, serta keinginan-keinginan saya lainnya. Apalagi saya yang masih suka Ngopi dengan teman-teman ketika sore dan malam.
Waktu itu saya tidak mempunyai relationship yang terikat. Ada pun saya masih tahap suka-suka, lepas, lalu merajut lagi dengan yang lain, begitu lagi.,
Lagi pula, Mak memberi nasihat sewaktu saya menyiapkan diri di pasca. Beliau bilang jangan mengenal cinta dulu, dua tahun itu tidak lama.
Ke sini, setelah saya mempunyai keterikatan, pertanyaan-pertanyaan, dan mengingat usia yang sudah di 25, saya merenung sejenak. Apa saya sudah boleh menyiapkan itu sekarang? Lalu bagaimana dengan bayangan saya dengan berkelilingnya saya di berbagai kegiatan.
Rasanya saya menyayangkan diri jika terlalu cepat mengambil keputusan itu tapi saya juga mengkawatirkan diri bahwa usia dan kesempatan mungkin sudah saya sampai waktunya.
Dalam keadaan itu, saya mengingatkan bahwa jika saya memang serius untuk berada di tahap itu, karenanya saya mesti menyeriuskan karir saya setidaknya pasca saya selesai tahun ini, setahun kemudian mungkin sudah di tahap itu. Saya memotong satu tahun dari dua tahun yang saya rencakan. Jikalau itu memang sudah waktunya.
Setidaknya saya mempunyai tabungan sendiri untuk itu. Tidak perlu mewah, pastinya saya punya tempat tinggal ngontrak atau nyicil perumahan.
Komentar