Melilu. Itu lah kata pertama yang muncul saat Senyap ditayangkan. Film karya Joshua Oppenheimer itu berhasil menyentuh pada tampilan pertamanya.Mamak yang memandikan bapak. Mamak yang telah memutih rambutnya dan Bapak yang tak lagi berambut. Mata Bapak merapat, tak jelas penglihatannya, juga tak jelas pendengaranya.Mamak memandikan bapak, mengguyur air, menyapu muka, membasuh dan menyikat badan Bapak. Sikat itu menimbulkan bunyi "sreek-sreek" ketika mengalur di kulit bapak yang tampaknya kering dan keriput.
Bapak adalah kekasih Mamak. Bagian hidup Mamak, bagian cerita Mamak. Mamak setia bersama Bapak.Mamak menunggu Bapak naik ke "becak" kursi roda meski berkali-kali meminta Bapak untuk naik, tapi tak dihiraukan Bapak, maklum Bapak tak mendengar. Bapak naik ke kursi roda, tersandar apa adanya, rangka belakangnya telah tua, duduk tegak tampak susah.
Handuk tipis telah mengeringkan bekas air yang masih menyerap tubuh Bapak. Handuk tipis melayang santai menutupi tubuh Bapak, kala kursi roda akan berjalan. Bagaimana cara Mamak menaikan Bapak ke atas dipan tinggi besi, entah lah, mungkin Bapak merangkan sendiri atau dipandu oleh Mamak, saya tak melihat tampilan itu, mungkin sedang bicara dengan teman saat Bapak naik ke dipan.
Bapak terpisah dengan Mamak saat tidur. Kelambuhan mereka terpisah. Bau pesing, itu kata Mamak saat Adi, anaknya bertanya kenapa Mamak tidak mau tidur dengan Bapak. Selain, Bapak suka manja dengan Mamak, mengelus tanganya yang membuat geli, tak bisa tidur. Ketawa juga mendengarnya.
Mamak menabur dan mengusap bedak bayi ditubuh Bapak, diwajah Bapak. Walau bedak tak lagi diturunkan di tangan lebih dulu, tetapi langsung di wajah Bapak, hal itu tetap menunjukan kesetiaan Mamak pada Bapak. Mamak memerhatikan Bapak. Bapak yang mengaku berusia 16-an tahun, padahal diperkirakan Mamak sekitar 140-an tahun, dan di KTP yang dibacakan Adi Bapak lahir tahun 1909. Bapak yang telah sakit sekitar 13 tahun, tak dapat berjalan hanya mengesot. Mengelilingi rumah yang tak diketahuinya bahwa itu adalah rumahnya. "Tolong aku, aku sesat di rumah orang, tolooong, aku sesat di kelambuh orang". Begitulah teriakan Bapak yang saya ingat.
Bapak yang 140-an tahun atau emak-jika tidak salah-103 tahun dalam masa film ini mengingatkan saya pada beberapa orang yang telah mendahului. Orang-orang masa sakit dalam masa tuanya yang sempat saya urus. Meski tidak lah selalu, dan telaten. Hanya, saat orang sakit dalam keadaan tak berdaya itu, saya pernah menyaksikannya. Dan, menganggap bahwa dikala tua, dikala tak berdaya, tak semua orang dapat memberikan perhatiannya dengan lebih.
Masa tua itu mengingatkan saya pula pada beberapa orang yang beberapa hari ini telah mendahului. Mereka yang berada di usia 50-an, 60-an. Saya sempat berkata dalam hati "apakah saat ini, masanya para orang tua 50-an, 60-an pergi?". Telah empat orang di usia itu sejak hari Senin lalu, saya mendapat kabar mereka telah pergi.
Dua di antaranya adalah Bapak dari orang yang saya kenal. Dua Bapak yang sempat berada di rumah sakit. Dirawat oleh istri dan anaknya. Dua Bapak yang anak-anaknya dapat memberikan usaha yang terbaik untuk kesembuhan dan keselamatan Bapak. Dua Bapak yang berhasil melihat, anaknya dewasa, bekerja, menikah, dan punya anak. Bapak yang berada di usia 60-an.
Pertanyaan berikutnya, apakah di usia 50-an, 60-an saya masih berada di keluarga saya? Apakah saya akan merasakan masa-masa seperti Mamak dan Bapak Adi? berdua dalam usia yang menua? Bersama dalam suka dan duka? Melihat anak dan cucu tertawa?
Peertanyaan berkutnya, apakah di usia 50-an, 60-an saya akan diurusi oleh keluarga saya? menyiapkan sarapan di pagi hari misalnya. Duduk di teras nyambi membaca koran pagi. Melihat tanaman yang sedang tumbuh dan menyapa orang-orang yang lewat di depan rumah.
Pertanyaan berikutnya, akankah saya berumah tangga? Kapan? Bersama siapa?
Komentar