Selesai kuliah, mau kerja apa? Dimana? Mengapa?
Kadang itu menjadi pertanyaan mahasiswa akhir pada diri
mereka sendiri.
Saya sendiri pernah mengalami masa galau mencari pekerjaan
yang sebenarnya hati saya tak 100% menginginkanya. Alasanya ya karena saya khawatir, pulang ke
rumah tak dapat membawa bincingan. Oleh-oleh, misalnya. Bukan rumah kediaman
ibu saya tetapi, rumah tempat saya tinggal di kota ini. Rasanya malu saja,
sudah sarjana tapi tak ada penghasilan untuk menyisihkan itu. Akhirnya saya
memutuskan untuk mencari kerja, setelah diterima eh saya malah mengundurkan
diri. Alasanya, saya fokus untuk kuliah yang waktu itu telah lolos di perguruan
tinggi, tempat saya melanjutkan pendidikan. Lagi pula, saya akhirnya sadar,
mencari pekerjaan tambahan hanya karena uang, itu bukan pilihan yang tepat. Hati
menolak, apalagi setelah tahu “Bapak” menganggap bahwa apa yang saya lakukan
tampak seperti kurang kerjaan. Bekerja karena mencari uang? Itu bukan gaya “Bapak”.
Pun orang rumah tak pernah mempermasalahkanya, masalah yang saya buat-buat
sendiri. Seperti itu lah.
Jujur saja, sejak saya bergabung sebagai wartawan kampus,
saya tak khawatir dengan pekerjaan saya nantinya. Saya pikir, proses belajar
saya sebagai wartawan dapat menjadi profesi saya nantinya. Apalagi setelah
berada di Club Menulis, saya semakin pede
bahwa pekerjaan memang tidak menjadi objek pencarian. Jadi pertanyaan untuk
mahasiswa akhir yang yang ditulis di atas tidak menjadi bagian obrolan dalam
pikiran saya.
Hingga Cece di toko depan gang bisa berkata “Dia ini tidak
pernah menjadi pengangguran”. Saya tidak tahu alasan tepatnya, hingga dia
berpendapat seperti itu. Simpulan yang saya ambil mungkin dia memerhatikan saya
yang selalu mengenakan pakaian rapi, dengan sepatu orang kantoran dan pulang
sore. Sibuk sekali, kelihatanya. Padahal, saya hanya sok sibuk :D
Jelasnya, apa yang saya dapati sekarang bukan karena diri
saya. Ada pihak lain yang memberikan penilaian pada saya, hingga saya bisa
berada di pekerjaan yang sekarang. Saya ingat dengan obrolan yang menjadi
nasihat untuk saya dari beliau, penilai.
Saya menganggap obrolan ini adalah nasihat untuk saya, dan saya menganggap
bahwa beliau adalah pemberi nasihat.
“Masih ada orang menilai kita karena kemanusiaan, karena
kemampuan kita dalam bersikap dan kepandaian kita melakukan sesuatu”
Kemanusiaan yang dimaksud karena menilai dengan perasaan
bukan karena kamu punya jabatan apa atau kepintaran yang bagaimana. Sikap yang
ditunjukan dapat diterima oleh orang lain, ramah, senyum, tidak bepikir negatif
dengan pekerjaan yang dilakukan.
Penasihat saya bilang, ada yang bekerja dengan wajah yang asem, misalnya saat dia mengantar surat.
Wajahnya tidak melihatkan keramahan, tampak tak kuasa, sikap seperti itu
membuat orang yang menerima pun menjadi malas
untuk berkomunikasi dengannya. Mungkin karena dia memiliki pendidikan yang dirasa
tidak pantas untuk mengantar surat. Lalu
beliau bertanya pada saya, bagaimana dengan saya jika saya mengantar surat?
Pertanyaan itu juga saya anggap sebagai nasihat.
Saya bisa mengambil pembelajaran dari nasihatnya. Mungkin
karena saya sekarang sedang melanjutkan pendidikan strata dua saya akan merasa
bahwa pekerjaan mengantar surat bukan lah pekerjaan yang selevel dengan pendidikan
saya.
Entah lah, apa inti sari obrolan mengarah pada maksud yang
sama dalam pikiran saya, pastinya saya tak sedikit pun bepikir itu. Saya
katakan pada beliau apa pernah melihat saya mengangkat meja, buku, dan kursi di
ruangan dari lantai III ke lantai III lagi. Wajah merah, keringat becucuran, kefeminiman
saya, ah jangan tanya, sejak dulu memang memudar apalagi membawa barang-barang
seperti itu. Jadi pekerjaan saya bukan jadi gengsi untuk saya. Mengapa saya
mesti asem karena mengantar surat,
mengantar potongan buku yang membuat saya agak melebarkan kaki di pijakan motor
pun telah sering saya lakukan.
Saya bersyukur ada yang menganggap saya dapat diandalkan.
Kepercayaan dan amanah yang diberikan pada saya membuat saya juga meyakini
pendapat penasihat saya, bahwa orang menilai bukan sekadar pendidikan yang
telah kita miliki tetapi sikap kita yang dapat diandalkan dan membuat orang
senang. Lalu, di pesan lain dari pesan
singkat, “Bapak” menyampaikan apakah ada yang bisa bekerja seperti saya? Bekerja
dulu, rezeki kemudian”. Pesan ini bukan pujian untuk saya bahkan saya tidak
merasa bangga karena itu tetapi ini membuktikan bahwa saya “dibanggakan” karena
dapat bekerja tanpa melihat materi. Saya saja baru menyadarinya setelah
pernyataan itu, sebab itu pula didikan yang saya dapat, dan membuat saya
belajar untuk bekerja karena hati, bukan materi. Mengharapkan akan menghasilkan
kekecewaan, itu bisa saja terjadi.
Pernyataan itu juga membuktikan bahwa benar obrolan dari yang
menyatakan “Bahwa orang menilai kita karena kemanusiaan” tanpa saya sadari,
sebagai manusia saya dinilai selayaknya oleh manusia lain sebagai manusia yang
bermanfaat, yang dapat diandalkan. Dan, saya tidak menyadari penilaian itu.
Hari ini, saya menyaksikan dan mendegarkan mengenai keluhan
tentang pekerjaan. Tidak semua orang bisa mengerjakan pekerjaanya dengan hati.
Tidak semua orang dapat menghadapi rekan kerjanya dengan pikiran positif. Tidak
semua orang dapat menghargai lingkungan di ruang kerjanya.
Padahal, sudah mendapatkan pekerjaan. Untunglah saya sudah
mendalami ilmu: masalah tak akan pernah habis: kuliah masalah dengan kuliah,
selesai kuliah masalah dengan mencari pekerjaan, setelah bekerja, masalah
dengan pekerjaan.
Semoga saya dapat terus menjalankanya dengan tulus ikhlas.
Seperti yang obrolan dari bapak penasihat “Kapan lagi diberi amanah”.
Komentar