Sudah lama saya tidak menyaksikan
perayaan 17 Agustus. Memperingati hari kemerdekaan. Malam itu, malam 17 Agustus
di komplek Batara Indah IV di Jalan Sutomo saya bergabung dengan warga.
Menyaksikan bagaimana serunya anak-anak yang berumur sekolah dasar ikut lomba.
Menari balon. Cucu dari bibi saya ikut serta, Bundanya sengaja menelpon
mengabarkan bahwa keponakan saya yang berusia 7 tahun ikut. Kami diajak
menonton dan menjadi pendukung.
Panitia perlombaan adalah remaja
komplek. Saya memang kagum dengan remaja di komplek ini. Jika dibandingkan, mungkin
sebagian dari remaja tak kuasa menguras tenaga atau pikiran untuk ikut
merayakan 17 Agustus. Mungkin remaja seperti mereka memilih berjanji dengan
teman-temannya untuk berkumpul di suatu tempat, mengobrol, atau jalan-jalan
mengelilingi kota dengan kelompok mereka. Tapi, ya itulah yang saya lihat,
remaja komplek itu sibuk dengan kegiatan yang mereka rancang.
Beberapa yang saya kenal baru saja menamatkan SMA, ada
juga yang masih sekolah SMA. Usia mereka saya taksir 16-18 tahun. Mereka
pemuda-pemudi komplek Batara Indah IV yang kompak. Mereka memanaj adik-adiknya.
Sebelumnya pula, ketika pagi, saya melihat keponakan yang ikut lomba tadi
memberi tanda silang pada selembar kertas yang bertulis pendaftaran lomba. Ia
bertanya pada adiknya yang berusia 5 tahun, untuk ikut lomba apa saja, dan
memperkirakan siapa pasangan lomba. Di kertas pendaftaran itu terdapat beberapa
kolom dengan tulisan lomba-lomba yang diadakan. Satu kolom untuk satu lomba.
Ini membuktikan bahwa panitia serius mengadakan perayaan 17 Agustus ini.
Dari formulir yang diberikan,
peserta tinggal memilih, menulis nama, dan mengembalikannya kepada panitia.
Perlombaan yang sempat terbaca oleh saya ialah lomba joget balon, memasukan
pasir dalam botol, joget di atas kursi dan makan kerupuk. Soal makan kerupuk
ini, keponakan yang berusia 5 tahun tidak ikut.
“Kalo pake kecap adek mau”, itu
alasannya.
Anak-anak komplek yang menjadi
target perlombaan juga banyak. Mereka berkumpul. Jarak lapangan memang berada
di tengah-tengah komplek sehingga tidak jauh dari rumah mereka. Mereka kompak
memberi semangat, menyoraki teman-teman yang menahan balon dengan kening dan
harus berjoget. Penonton cilik ini juga ikut menari, apalagi ketika musik ala
joget Caesar yang sedang booming itu
berbunyi. Mereka menggoyang-goyangkan badan meniru gaya Caesar.
Diantara penonton cilik, panitia,
dan peserta lomba, ada juga orang tua yang ikut serta mendampingi. Seperti
sepupu saya yang anaknya ikut dalam lomba, dia dan suaminya sengaja hadir
menonton memberi semangat pada anaknya. Riuh riang suara dari perayaan ini
selain suara dari penonton cilik juga, dua suara panitia yang menjadi host dan musik dari mobil pak RT. Mobil
itu terparkir di lapangan, mobil inilah yang mejadi sumber suara yang menggiring
lomba joget balon.
Lomba 17 Agustus memang menjadi
momen yang ditunggu. Itulah yang saya rasakan ketika seusia keponakan saya. Ada
semangat yang berbeda ketika bulan Agustus. Ada peringatan khusus yang
dimeriahkan. Ada kerjasama yang dilihatkan. Tentu saja, ada maksud yang ingin
disampaikan, mengapa ada hal penting bagi masyarakat di tanggal 17
Agustus. Hingga berjalan waktu memahami
tentang semangat 17 Agustus dan mengetahui sejarah dari 17 Agustus.
Komentar