Beberapa waktu lalu, Pak Rektor mengirim tautan Kolom Terbaru Ahmad Inung. Terdapat bait cerita tentang Orang Tua yang ditinggalkan anak-anaknya. Tentu, raut wajah Emak langsung tergambar jelas. Raut keriput dengan pipi yang menurun serta pupur tabur di wajah memutih di mana-mana.
Sore itu saya menelpon. Dunia teknologi saat ini memudahkan kita menelpon sambil video. Sehingga tak sekadar suara yang terdengar tapi fisik sesuai tangakapan kamera terlihat di layar. Emak duduk di kursi rodanya. Usianya tahun ini 75 tahun. Ia ringkih dengan sakitnya.
Sudah lama beliau mengidap penyakit yang katanya bisa sembuh hanya dengan cangkok hati. "Mana ada uangnya dok", kata Emak menggurau dokter kala itu. Penyakit yang bersarang ini dimulai dari Diabetes yang telah memeluknya sejak 2008 lalu. Rutinitasnya kala itu masih aktif. Masih ke kebun mengurus pisang dan kelapa. Masih pergi pengajian dan yasinan. Pergi ke rumah tetangga dan saudara. Masih bisa memasak nasi serta tambol untuk kami.
Emak sangat aktif. Ia hidup dengan keluarga dan zaman yang mengharuskanya tangguh. Dari jumlah keluarganya hanya ia yang tak selesai sekolah, hanya Sekolah Rakyat (SR) sempat lanjut tapi selesai. Kata Emak saat kutanya, "Siapa yang bantu Emak, Uwak saket".
Emak adalah anak kedua, tapi anak pertama telah merantau bersekolah. Di dalam rumah itu ia menjadi kakak pertama untuk adiknya dan kedua orang tuanya, Uwak untuk panggilan bapaknya stroke dalam waktu lama, berpuluh tahun.
Bagi mereka kelahiran 1950 dan di daerah pesisir pula, hidup sangat keras. Apalagi saat kebun habis dibabat air asin dari laut. Punggung kelapa ditendang pun jatuh saking hidup segan.
Komentar