Dia angkatan dengan nomor Induk 19. Dia mengirim WA untuk menyampaikan niat cuti kuliah. Kami pun membuat janji. Saya bertanya alasan. Ekonomi kembali menjadi peluru mematikan.
Kala itu, ada yang mengganjal. Ada rasa kesal. Dia memilih mengalah karena uang tak memadainya untuk daftar ulang. Kakaknya akan menikah.
Lalu? Kami mencari jalan keluar. Ia pun khawatir jika dapat pinjaman ia tak dapat melunasi. Ia memilih cuti dan kembali ke kampung halaman. Akhirnya, surat cuti ditandatangani.
Semester genap dia kembali mengirim pesan. Dia mengabarkan dia punya uang, tapi tak cukup. Lalu bagaimana dengan daftar ulang? Tentu harus mencari tambahan. Dia bilang, dia mendaftar di lembaga pendidikan: Les. Lalu bagaimana dengan tempat tinggal? Kos? Makan sehari-hari? Kendaraan? Semua itu perlu biaya, mengajar les juga belum tentu diterima.
Saya coba menghubungi keluarga yang membuka toko. Mereka mencari karyawan. Hanya, tidak bisa menyediakan tempat tinggal. Itu adalah pilihan kami untuk semester ini. Sambil menunggu jawaban dari tempat les. Dia pun mencari kerja lain. Sambil finalisasi toko yang sedang dibangun.
Lalu kami berdiskusi lagi. Jika ia tetap kuliah semester genap dia hanya dapat mengambil beberapa mata kuliah, sedangkan tahun berikutnya adalah magang dan kerja lapangan. Mata kuliah yang harus diambil dan memerlukan biaya tambahan jika sekolah jauh, membuat media, kegiatan tambahan, juga kita belum tahu di mana lokasi KKL.
Kami sepakat. Cuti dilanjutkan. Sambil mencari pekerjaan dan menabung untuk semester depan. Baiknya ambil 1 tahun cuti dan ikut perkuliahan semester selanjutnya karena kurikulum pun tak berubah. Kembali, surat izin cuti ditandatangani.
Tak lama dia mengirim pesan. Dia tak kembali ke kampung halaman di Teluk Nibung. Dia bekerja sebagai pengasuh. Ini pilihan tepat, dia mendapatkan tempat tinggal, makan minum ditanggung, tak perlu kendaraan untuk bepergian, dan tentu saja ia mendapatkan "imbalan" yang dapat menyelesaikan masalah utama.
"Saya dulu juga tinggal di rumah orang buk, jadi biasa dah".
Semester berikutnya dia datang. Mengabarkan diri daftar ulang dan minta pengesahan KRS.
"Masih di tempat lama?"
"Masih buk"
"Jadi kuliah?"
"Dibolehkan buk, kalau ada makul saya ke kampus", tentu saja dia tak punya waktu nongkrong umunya seperti teman yang biasa dijadikan status.
Berkaitan dengan status WhatsAp-nya. Jujur, kali pertama saya lihat ia bersama temanya saya merasa lega. Dia punya teman akrab. Saya khawatir dia termasuk orang yang kurang percaya diri karena kondisi ekonomi dan keadaan yang dihadapinya. Saya lega dengan kata-kata ceria pada statusnya.
Saya berpesan sebelum cuti kala itu. Sambil menunggu masa aktif, cari judul penelitian, cari referensi, saya yakin kamu bisa selesai dengan tepat waktu. Banyak satu semester yang tersia-sia karena mereka tidak bisa menyelesaikan skripsinya. Kamu tidak akan tertinggal jika kamu menyiapkanya.
Sampai akhirnya dia Magang dan KKL. Dia menyelesaikan perkuliahan pembelajaran dan sebagainya. Dia mengikuti pengisian KRS dan KHS tanpa surat cuti lagi. Hingga dia becerita bahwa dia tak lagi di tempat kerja yang lama, tapi dengan pekerjaan yang sama.
Saya akui, dia pandai memilih. Bekerja dengan majikan -kata yang digunakanya- yang bisa memahami kondisinya. Dia bisa tidur tanpa memikirkan uang kos.
Saya pernah pada posisi itu, meski tak mendapat bayaran. Saya tinggal di rumah keluarga. Menjaga anak kecil, beres-beres, masak seadanya, dan menikmati fasilitas di rumah. Saya juga sembari mengojek dan mendapat 200 sampai 250ribu per bulan. Dari mengasuh kadang ada uang tambahan. Orang pergi makan enak, kita juga merasakan. Tak masalah, tujuan adalah sekolah.
Rupanya, Prodi memilih saya sebagai pembimbing skripsinya setelah menjadi PA. Maka mengapa begitu "tahu" tentang dirinya. Dia serius dengan skripsinya. Dia menyelesaikan dengan baik. Nilai A disabetnya.
Saat revisi dia membuat janji, lalu mengabari "Maaf buk anak majikan saya lahiran, saya di rumah sakit", orang yang disebutnya majikan itu pasti orang yang baik. Ia memberi waktu untuknya menyelesaikan kuliah, skripsi, dan masa-masa bimbingan. Hingga pada janji berikutnya dia datang, pengesahan perbaikan diselesaikan.
"Jika bisa, lanjut kuliah", itu pesan saya.
Saya kira, seperti umumnya. Mereka selesai tanpa mengabari. Dia dengan nama Nur itu mengirim pesan di saat saya agak kabur dengan siapa "saya" yang dimaksud. Sebab, entah berapa kali dia mengganti nomor. Saya tak menyimpan kali ini.
Benang merah dari cerita? Banyak bimbingan yang mempunyai masalah keluarga, kerja sambil kuliah, menikah dan punya anak, tak ada kendaraan. Memanajemen waktu, uang, dan diri adalah tantangan. Saya rasa kisah mahasiswi dari Teluk Nibung ini dapat menjadi inspirasi.
Semoga kita diberikan kemudahan untuk segala kebaikan.
Komentar